Jakarta, Tren24reportase.com – Tidak Ada Ruang Konstitusi dan Hukum Untuk Batalkan Putusan MK,
Ketua Umum SOKSI, Ir.Ali Wongso Sinaga ingatkan semua pihak agar jangan goreng issu polemik Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang batas usia Capres/Cawapres, apalagi jika gorengan itu disertai praduga-praduga yang naif dan provokasi hingga usulan dan desakan yang tidak rasional, sebab gorengan issu demikian bisa timbulkan gangguan kelancaran agenda Pemilu 2024 dan stabilitas nasional yang niscaya bisa bahayakan bangsa dan negara. Kepentingan stabilitas dan eksistensi bangsa dan negara adalah diatas segalanya.
Terkait putusan MK, apapun putusan itu adalah final dan mengikat (binding) sifatnya berdasarkan pasal 24 C UUD 1945. Semua pihak perlu menyadari dan pahami bahwa UUD 1945 atau Konstitusi adalah hukum dasar negara dan tertinggi, diatas UU tentang apapun dan UU harus mentaati Konstitusi. Para pakar apalagi pakar hukum sangat memahami itu.
Tetapi jika ada pakar hukum tertentu yang berpendapat seolah-olah ada UU tertentu yang dapat menjadi dasar membatalkan Putusan MK, pendapat pakar itu naif sehingga bukan tak mungkin ada motif sempit tertentu pakar itu yang perlu diwaspadai, karena seorang pakar hukum tata negara mestinya memahami kedudukan UU itu adalah dibawah UUD 1945.
Jadi tidak ada ruang konstitusi dan hukum untuk membatalkan suatu Putusan MK oleh siapapun kecuali dengan mengubahnya melalui mekanisme perubahan UU oleh DPR RI bersama Presiden sesuai Pasal 20 UUD 1945. Mengubah demikian itu tentu tak realistis mengingat Pemilu 2024 tak lama lagi.
Karena itu semua pihak perlu menahan diri dan tidak emosional tetapi diharapkan semua pihak termasuk para pakar hukum tata negara dan politisi agar tenang dan berpikir rasional dengan mencegah pernyataan dan perilaku politik berdampak memanaskan suhu politik nasional yang tak perlu, tegas politisi senior mantan anggota Pansus DPR RI/Tim Perumus UU No.8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No 24 Tahun 2003 Tentang MK itu kepada wartawan pada Kamis sore (02/11/23) di Jakarta.
Lebih lanjut politisi senior mantan Ketua DPP Partai Golkar itu menyampaikan pandangannya tentang penyelesaian masalah dinamika internal suatu Parpol misalnya, mungkin akan lebih arif bijaksana jika diselesaikan secara internal Parpol itu sendiri tanpa harus mengumbarnya ke publik.
Begitu juga terkait Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) yang menggelar sidang dugaan pelanggaran etik Hakim MK sangat diharapkan agar supaya on the track , selalu waspada dengan menjaga integritas dan kenegarawanan yang tinggi agar tidak sampai terpengaruh menjadi ikut “pemain” dan atau “dimainkan” langsung atau tak langsung dalam “politik praktis” oleh karena segala bentuk potensi godaan, tekanan dan provokasi para pihak kepentingan tertentu yang dapat saja terjadi.
Sebagai informasi terkait polemik Putusan MK itu, bagi semua pihak termasuk MKMK, mantan anggota Badan Legislasi DPR RI 2009-2014 itu mengatakan perlu memahami fakta bahwa salahsatu perubahan penting dan mendasar dalam perubahan pertama terhadap UU No 24 Tahun 2003 Tentang MK adalah penambahan ayat (2a) Pasal 57 UU MK yang mengatur amar putusan MK tidak boleh membuat norma baru dalam pengujian materiil UU.
Mengapa sampai timbul ayat (2a) Pasal 57 demikian itu ? Itu karena Pansus DPR RI dan Timus Perubahan UU MK ketika itu menyadari kuatnya pemahaman dan kemauan bahwa dalam kondisi tetentu MK dapat membuat amar putusan yang megubah norma atau membuat norma baru suatu UU yang diujinya terhadap UUD 1945.. Disisi lain kami Pansus dan Timus Perubahan UU MK memandang bahwa MK adalah negative legislator murni yang tidak boleh membuat atau mengubah norma UU yang diujinya, karena hal itu mengambil fungsi pembuat UU yaitu DPR bersama Presiden (open legal policy) sesuai Pasal 20 UUD 1945.
Tetapi pada tahun 2020, melalui UU No. 7 Tahun 2020 Tentang perubahan ketiga UU No 24 Tahun 2003 Tentang MK, bahwa ayat (2a) Pasal 57 itu dihapus. Lalu MK kemudian membuat Peraturan MK No 2 Tahun 2021 yang didalamnya pada Pasal 73 ayat (3) mengatur : “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)”,
Pertanyaannya, apa MK dibenarkan berwenang mengubah atau membuat norma baru UU ?
Jika tidak dibenarkan maka pertanyaan kemudian, bagaimana legitimasi berbagai putusan MK yang merubah atau menambah norma baru UU seperti terhadap UU KPK baru-baru ini ?
Sebaliknya jika dibenarkan MK berwenang merubah atau menambah norma baru UU, maka apa yang salah dalam berbagai putusan MK yang mengubah atau menambah norma baru UU seperti Putusan MK tentang usia capres/cawapres itu ?
Pembenaran itu adalah sebagaimana pandangan beberapa pakar hulum tata negara , bahwa “MK sebagai lembaga the guardian of constitution yang memiliki karakteristik berbeda dalam sistem kekuasaan kehakiman pada umumnya,”.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait adanya hubungan keluarga antara pribadi Ketua MK, Pak Anwar Usman dengan pribadi Walikota Gibran Rakabuming Raka, yang oleh pihak tertentu menduga hubungan kekeluargaan itu telah mempengaruhi independensi putusan MK, Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu justru bertanya mengapa melihatnya tidak rasional ktitis dan komprehensif dengan kenegarawanan yang proporsional ?
Dalam rangka itu menurutnya paling kurang ada empat hal yang perlu dipahami mendalam oleh semua pihak, yaitu : Pertama, gugatan uji materiil oleh berbagai pihak terhadap huruf (q) Pasal 169 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu itu hendaklah dilihat dengan positive thinking dari sudut pandang kemauan politik untuk memberdayakan segenap potensi bangsa khususnya generasi muda dalam pola dan sistem rekrutmen kepemimpinan bangsa. Karena itu tak relevan jika ada yang tendensius melihatnya seolah-olah untuk kepentingan seseorang semata.
Faktanya baik gugatan itu maupun Putusan MK itu samasekali tidak tertuju atau ditujukan untuk nama seseorang siapapun.
Putusan MK itu adalah terbuka bagi semua warga negara sepanjang yang bersangkutan dapat memenuhi persyaratan rasional yang ditentukan dalam pasal 169 huruf (a) sampai dengan (t) dengan perubahan pada huruf (q) sesuai Putusan MK.
Jadi jika ada yang menuduh putusan MK itu ditujukan hanya untuk Mas Gibran, maka tuduhan itu naif dengan interpretasi yang emosional atau tidak rasional kritis.
Kedua, bertumbuhnya kesadaran masyarakat luas bahwa tantangan utama dan terberat bagi bangsa negara ini kedepan adalah persoalan yang berakar pada korupsi yang faktanya sejak reformasi 1998 belum berhasil diberantas. Pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah satu mata uang dua sisi dengan pembangunan hukum yang berkeadilan sekaligus penegakannya untuk menjadikan hukum yang adil sebagai panglima atau penegakan supremasi hukum.
Lalu pertanyaannya , apakah momentum Pemilu 2024 ini perlu atau tidak perlu digunakan oleh rakyat untuk rekrutmen kepemimpinan bangsa mendatang yang diharapkan berani dan mampu menjawab tantangan utama dan terberat bangsa negara itu secara efektif dan optimal ?
Tanpa mengurangi penghormatan kepada para politisi bahwa sulit membantah pendapat langkanya tokoh politisi idealis berusia diatas 40-an tahun sekarang ini karena sudah terkontaminasi pragmatisme dan ekses korupsi sehingga praktis sukar mengandalkannya untuk efektif dan optimal menjawab tantangan utama dan terberat bangsa negara ini kedepan yaitu pencegahan dan pemberantasan korupsi sekaligus penegakan supremasi hukum berkeadilan itu. Ada adagium mengatakan : “lantai kotor hanya bisa bersih dengan sapu yang bersih” Berbagai kasus dugaan TPPU dan korupsi dewasa ini ditambah belum adanya respons positif DPR RI untuk membahas RUU Perampasan Asset Pelaku Tindak Pidana yang sudah diajukan oleh Presiden Jokowi sejak awal Mei 2023 yang lalu, kesemuanya memberi indikator betapa serius dan gentingnya sudah permasalahan korupsi dan penegakan supremasi hukum ditengah bangsa negara ini.
Maka wajarlah jika ada pihak-pihak yang terpanggil memikirkan penguatan peluang pemecahan masalahnya kedepan dengan mau tak mau kepada mereka generasi muda yang umumnya relatif bersih, idealis, militan dan terpanggil dalam kepemimpinan perjuangan bangsa mesti diberikan dan diciptakan peluangnya secara juridis dan demokratis disetiap tingkatan. Disitulah relevansi dan urgensi perluasan basis rekrutmen kepemimpinan bangsa dari kalangan generasi muda termasuk yang ada dalam Putusan MK itu.
Ketiga, Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan setiap warga negara kapanpun dia dilahirkan atau berapapun usianya dan siapapun orangtuanya harus dijamin secara hukum berkesempatan dalam pemerintahan termasuk menjadi Presiden/ Wapres sepanjang memenuhi persyaratan yang rasional dan proporsional.
Persyaratan capres/cawapres dalam pasal 169 huruf (q) UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, sebelum ada putusan MK itu telah menghadang peluang generasi muda berusia dibawah 40 tahun meskipun bukan tak mungkin terdapat anak-anak muda yang bisa memenuhi persyaratan lainnya pada huruf (a) sd ( p ) dan ( r) sd (t) Pasal 169 UU Pemilu itu. Karena hadangan itu selain tidak mendukung kemauan politik untuk menjawab tantangan masa depan bangsa, juga tidak adil bagi generasi bangsa dan itu merupakan diskriminasi yang bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan (3) UUD 1945 dan sebenarnya MK jika mau dapat saja memutuskan huruf (q) Pasal 169 UU Pemilu itu tidak lagi berkekuatan hukum yang mengikat sebab bertentangan dengan UUD 1945.
Namun MK telah memutuskan adanya penambahan norma baru yang mengkombinasikan makna Pasal 28 D UUD 1945 dengan norma batasan rekam jejak kompetensi minimal kepemimpinan seseorang capres/cawapres, dan itu merupakan kewenangan MK yang putusannya final dan mengikat.
Keempat, terkait dengan pribadi Mas Gibran Rakabuming Raka yang kini KPU tengah memprosesnya menjadi cawapres dari capres Pak Prabowo Subianto, perlu dipahami bahwa beliau tentu tak pernah meminta kepada Sang Pencipta untuk lahir di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Juga beliau tentu tak pernah memilih atau meminta dilahirkan dengan orangtuanya Pak Jokowi dan Ibu Iriana. Tetapi takdir yang menetapkannya sebagai putra sulung dari ayahnya seorang warga negara Indonesia, Pak Jokowi yang kemudian terpilih menjadi Presiden RI pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
Sebagai warga negara Indonesia, beliau memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita semua warga negara Indonesia. Sebagai putra seorang pemimpin bangsa negara yaitu Presiden Jokowi adalah wajar dan logis apabila beliau memiliki bibit, bebet, bobot yang ditandai karakteristik kepemimpinan kuat sebagaimana sudah ditampakkan dari hasil dan image kepemimpinannya selama ini sebagai Walikota Solo. Faktanya hampir seluruh rakyat Solo bahkan Jawa Tengah disekitarnya memberi apresiasi baik atas kepemimpinannya dalam pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di Solo.
Bagaimana beliau dalam rangka kontestasi kepemimpinan bangsa, tentu rakyat perlu memberikan kesempatan dan menunggu gagasan programnya yang diharapkan sebagai representasi generasi muda yang mampu mem – by pass issu jam terbang- kapasitas sekaligus issu dinasti yang dialamatkan banyak pihak kepada beliau. Sesudah itu, terserah kepada rakyat selaku pemegang kedaulatan atas negara bangsa untuk memilih capres/cawapres terbaik melalui Pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia pada 14 Februari 2024 mendatang. Rakyatlah penentu , dan sudah tentu “fox populi fox dei”- suara rakyat, suara Tuhan.
Dengan memahami empat hal itu, kader senior SOKSI gemblengan langsung Pendiri SOKSI, Prof.Dr.Suhardiman itu berharap kepada semua pihak termasuk MKMK, para hakim MK, para pakar hukum tata negara, para politisi akan senantiasa waspada dan bijaksana untuk menjaga demokrasi dan stabilitas nasional yang kondusif dengan memberikan peluang yang sama kepada ketiga pasang capres/cawapres sesuai semangat pasal 28 D UUD 1945. serta mengedepankan kepentingan rakyat bangsa negara.
Melalui Pemilu 2024 ini ketiga pasang capres/cawapres itu diharapkan akan berlomba dengan integritas dan gagasan program serta kompetensi mereka untuk mengakselerasi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila guna memajukan Indonesa menuju Indonesia Emas 2045.
Menuju Indonesia Emas 2045, tentu termasuk bagaimana jaminan kemampuannya memantapkan persatuan bangsa sekaligus menggerakkan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang efektif dan optimal sekaligus membangun hukum yang berkeadilan serta menegakkannya menjadi panglima (supremasi hukum) yang menumbuhkan ekonomi bangsa yang kuat dan berkeadilan didalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2025-2045, kata politisi senior salahsatu dari empat “Anggota DPR RI 2009-2014 Terbaik” versi FORMAPPI itu. (Antoni).
More Stories
Partai Rakyat Oposisi Desak DPR Gelar Sidang Istimewa untuk Tangkap dan Adili Jokowi
Dr. PUADI, Anggota Bawaslu RI Hadiri Rapat Koordinasi Kesiapan Pilkada Serentak 2024 di Yogyakarta
Warga Rempang Tolak PSN Rempang Eco-City