Jakarta, Tren24reportase.com-Jurnalis perempuan dan laki-laki terancam jadi korban kekerasan seksual, baik saat bekerja maupun tidak. Berdasarkan survei yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, sebanyak 25 dari 34 jurnalis baik laki-laki maupun perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Survei itu digelar AJI Jakarta setelah mendapatkan laporan sejumlah kasus kekerasan seksual yang menimpa atau melibatkan anggota organisasi mereka. Jumat 13 Januari 2023.
Ketua AJI Jakarta Afwan Purwanto menuturkan melalui survei itu ditemukan sebagian jurnalis laki-laki dan perempuan pernah mengalami kekerasan dengan pelaku yang beragam, seperti atasan, teman sesama jurnalis, dan narasumber. Tempat terjadinya kekerasan seksual juga beragam, mulai dari tempat liputan, kantor, hingga di acara pertemuan jurnalis.
Selain itu, berdasarkan survei Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang diikuti 1.256 jurnalis perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 1.077 responden atau setara 85,7 persen pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka. Sebanyak 753 responden (70,1 persen) mengaku mengalami kekerasan di ranah digital maupun fisik, sementara hanya 179 jurnalis perempuan (14,3 persen) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual sama sekali
Peneliti PR2Media Masduki menjelaskan tiga jenis kekerasan yang rentan dialami oleh jurnalis baik laki-laki maupun perempuan. Pertama, kekerasan fisik seperti intimidasi, ancaman, dan pemukulan. Kedua, kekerasan seksual secara simbolik melalui verbal. Bentuknya bisa berupa stereotip dan merendahkan lawan bicara bernada kasar atau seksis.
Ketiga, yaitu kekerasan digital. Kekerasan ini tidak hanya ditujukan kepada jurnalis secara personal, tetapi juga ke perusahaan media itu sendiri. Sejumlah kasus peretasan situs media online sudah banyak terjadi. Sedangkan kekerasan digital kepada jurnalis memiliki berbagai bentuk, seperti hacking, doxxing, hingga aktivitas surveilans atau memata-matai.
“Kalau melihat data yang kami temukan tahun lalu, justru kekerasan terhadap wartawan itu jauh lebih kompleks. Jadi tidak semata-mata karena tugas jurnalistik yang berisiko atau berat, tetapi ada persoalan relasi gender di sini yang memicu kekerasan. Jadi jurnalis perempuan itu, apapun posisinya, apalagi dia hanya jurnalis biasa ya, itu rentan mengalami kekerasan,” kata Masduki.
Minim perlindungan perusahaan media
Masduki menilai selama ini masih banyak perusahaan media yang tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kekerasan seksual. Menurutnya, masih ada sikap menyangkal dari perusahaan media sendiri, misalnya menganggap bahwa tindakan yang dilakukan secara verbal bukan merupakan kekerasan seksual.
Masduki mengatakan PR2Media bersama AJI sempat menggelar survei dengan 100 wartawan dan 10 pimpinan perusahaan media soal aturan penanganan kekerasan seksual. Dalam wawancara, Masduki melihat pimpinan perusahaan media masih menilai bahwa ajakan untuk bercinta, kencan, atau menikah hanya sebatas candaan.
Ia beranggapan kekerasan seksual di perusahaan media masih dianggap sebagai isu marginal, sehingga tidak menjadi prioritas perusahaan media. Menurutnya, SOP penanganan kekerasan seksual yang ada kebanyakan bersifat kekerasan secara umum, seperti pemukulan, pembunuhan, kriminalitas, dan intimidasi. Ia menilai selama ini banyak pemahaman bahwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi dalam tugas berat, seperti investigasi atau kerja-kerja jurnalistik yang berisiko. Padahal, fenomena kekerasan kerap terjadi pada kerja-kerja harian di tempat yang dianggap paling aman.
Sekretaris AJI Indonesia Ika Ningtyas menegaskan perusahaan media memiliki tanggung jawab utama untuk mencegah sekaligus menangani kasus kekerasan seksual yang dialami oleh jurnalis. Sebab, relasi ketenagakerjaan antara jurnalis dan perusahaan media mestinya tak berhenti pada upah-hasil kerja, tetapi juga pemberian rasa aman dan perlindungan dari risiko kerja. Menurutnya, setiap kekerasan yang dialami oleh jurnalis adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Media itu kan watchdog. Selama ini kan kami itu mengawasi pelanggaran HAM, kami membongkar kejahatan, tapi ketika itu semua dibiarkan terjadi dalam organisasi medianya, berarti itu menjadi hal-hal yang tidak konsisten. Seharusnya perusahaan media memiliki komitmen dan melaksanakan prinsip yang sama di dalam organisasinya, sebagai organisasi yang juga menjunjung HAM dan melindungi dan juga mempromosikan kesetaraan gender,” kata Ika saat dihubungi.
Ia menilai saat ini tanggung jawab perusahaan media masih rendah untuk melindungi jurnalis dari risiko kekerasan seksual. Ika menuturkan banyak jurnalis enggan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya kepada perusahaan karena tidak yakin kasusnya akan ditindaklanjuti. Selain itu, masih banyak diskriminasi di tempat kerja yang menyebabkan perempuan lebih rentan dibandingkan jurnalis laki-laki. Hal ini diperparah dengan kondisi perusahaan yang tidak memiliki kesadaran atau mekanisme untuk mencegah atau melindungi jurnalis perempuan yang menjadi korban.
Kalau kami melihat jumlah perempuan yang menjadi jurnalis di industri media itu masih timpang gitu ya. Meskipun juga saat ini kesempatan perempuan untuk menjadi jurnalis sampai ke tingkat redaksi itu terbuka, tapi selalu ada hambatan bagi perempuan untuk untuk memperoleh dunia kerja yang aman. Termasuk di dalam kantornya, itu yang menjadi salah satu hambatan kenapa tidak banyak perempuan yang secara kuantitas juga dia bisa gitu bertahan di dunia jurnalisme, alih-alih sampai ke tingkat struktural (yang tinggi),” ucapnya.
More Stories
Dalam Rangka HUT Ke-47 RSUD R.A Kartini Jepara, Bupati Resmikan Ruang Operasi MOT
Garda Bangsa Lampung Timur Membagikan Sembako Kepada Masyarakat Yang Mengalami Bencana Alam Angin Puting Beliung
Bupati Anwar Sadat Pacu Pembangunan Jalan, Dongkrak Ekonomi Seberang Kota